Tuesday, April 14, 2015

Di Persimpangan

Kita adalah penentu atas kehidupan kita. Tak sedikit sebagian dari kita bahkan takut untuk sekedar bermimpi. Malam ini aku kembali menulis. Di tengah sunyinya malam. Di sepanjang waktu yang terus berjalan. Aku di persimpangan. Tak tau arahku entah kemana. Selalu berada di tengah-tengah. Hanya ada dua pilihan. Sukses dalam karir, atau sebagai hamba Allah yang bertakwa kpd sang pencipta. Sukses mempunyai banyak definisi bagi setiap orang. Bagiku sukses itu ketika kita bermanfaat untuk banyak orang. Dan semua mata tertuju saat aku berbicara. Karena orang yang berintelek, akan terlihat dari cara ia berbicara. Sama seperti saat aku duduk di bangku SD saat semua quiz dari guru aku coba jawab semua, dan saat aku berada di bangku SMP, yang selalu berusaha tampil terbaik didepan kelas untuk berbicara bahasa inggris.  Namun mungkin itu hanyalah sekelumit kesuksesan saat aku kecil. Sedangkan seseorang akan dipandang ketika ia sudah dewasa. Kini aku hanyalah seorang petugas kasir. Yang takut untuk mengubah jalan hidupnya. Yang hanya berharap akan ada pangeran yang kan membawanya pergi. Menjadikannya permaisuri di kerajaannya. Seperti di dongeng-dongeng...aku tak akan menyalahkan latar belakang keluargaku. Itu hanya sekian persen dari faktor pendukung kesuksesan kita. Yang terpenting adalah pemikiran dan tekad. Mungkin aku sudah terlambat untuk menyusun cita-cita.. sedang yang lain sudah berada di depan sana. Kini aku merasakan menjadi seorang pecundang. Dan aku merindukan keberanianku seperti saat aku duduk di bangku SD.
Aku bukan motivator, bukan pula penulis hebat. Bukan juga orang hebat. Aku hanya seorang yang selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian. Bahwa hidup ini selalu ada pembelajaran yang bisa kita petik. Aku hanya penulis amatir yang menulis sesekali saat inspirasi datang dan saat ada sesuatu yang ingin aku tulis. Saat kejadian-kejadian dalam hidup aku rangkum dan aku simpulkan sendiri. Rasanya aku sudah tidak tahu harus bermimpi apa lagi. Karena kesuksesan yang sebenarnya bukan diciptakan secara instan. Dulu aku bercita-cita sebagai seorang guru.sebuah cita-cita yang simple. Tapi tak sejalan dengan kenyataan. Rasanya tak adil jika menyalahkan dukungan orang tua. Bahkan diluar sana yang tak punya orangtua sekalipun, bisa sukses. Kini impian sederhanaku hanya bisa berbakti pada suamiku kelak.. aku akan menjadi guru terbaik untuk anak-anak ku kelak. Bukankah kesempurnaan wanita ketika ia menjadi seorang ibu ? Semoga Tuhan selalu memberiku kesabaran.. menanti hadiah terindah dariNya. Aamiin...